Jakarta, Sacom.id – Ketegangan global kembali memuncak setelah Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6). Dunia pun menahan napas, khawatir konflik antara Iran dan Israel ini dapat memicu Perang Dunia III. Namun, sejumlah pengamat geopolitik dan hubungan internasional menilai skenario tersebut masih jauh dari kenyataan.
Serangan AS ke fasilitas nuklir di Fordo, Natanz, dan Isfahan, dilakukan atas nama perlindungan terhadap sekutu lamanya, Israel. Presiden Donald Trump dalam pidato resminya menyatakan,
“Tujuan kami adalah untuk menghancurkan kapasitas pengayaan nuklir Iran dan menghentikan ancaman nuklir yang ditunjukkan oleh negara pendukung teror nomor satu di dunia.” ujar Donald Trump.
Tak tinggal diam, Iran membalas dengan meluncurkan serangan ke wilayah Israel. Ketegangan meningkat, tetapi benarkah ini awal dari perang dunia?
Dina Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Direktur Indonesia Center of Middle East Studies, menilai bahwa serangan yang dilancarkan AS masih bersifat terbatas dan tidak cukup untuk memicu keterlibatan global secara langsung.
“Serangan ini belum dalam skala besar. Perang dunia hanya bisa terjadi jika ada keterlibatan banyak aktor dari berbagai kawasan dunia. Saat ini belum ada eskalasi ke arah sana,” jelas Dina dikutip dari BBC News Indonesia.
Senada dengan itu, Dian Wirengjurit, mantan Duta Besar Indonesia untuk Iran (2012–2016), juga meyakinkan publik bahwa Perang Dunia III sangat tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
“Banyak negara seperti Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, hingga Mesir, sudah bergerak mendorong jalur diplomasi. Mereka tidak akan membiarkan wilayahnya menjadi medan perang. Dunia pun tidak tinggal diam,” ujarnya.
Sejumlah negara besar telah menyerukan de-eskalasi. Uni Eropa, Jepang, Inggris, Prancis, hingga Arab Saudi dan Qatar, mendesak Iran dan Israel untuk kembali ke meja perundingan.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, langsung terbang ke Moskow usai serangan AS. Ia mengadakan pertemuan dengan Presiden Vladimir Putin untuk membahas dukungan Rusia terhadap Iran. Putin dengan tegas mengecam aksi AS sebagai “tidak dapat dibenarkan.”
Meski Iran dan Rusia telah menandatangani kemitraan strategis awal tahun ini, perjanjian tersebut belum mencakup komitmen pertahanan militer.
Hal serupa juga ditegaskan oleh China yang meminta semua pihak meredakan ketegangan, terutama mengingat pentingnya kawasan Teluk Persia bagi perdagangan global.
Salah satu opsi paling serius yang kini dipertimbangkan Iran adalah menutup Selat Hormuz, jalur vital bagi hampir sepertiga ekspor minyak dunia. Langkah ini bisa menjadi “daya cegah” yang efektif, namun juga berisiko memicu reaksi keras dari negara-negara besar.
Uni Eropa dan AS telah meminta China untuk menekan Teheran agar tidak menutup rute penting ini. Jika Hormuz benar-benar ditutup, efeknya akan terasa secara global, termasuk Indonesia.
“Kalau Hormuz tertutup, harga minyak akan melonjak tajam. Suplai energi terganggu, komoditas lain ikut naik. Kita sebagai negara pengimpor akan terkena dampaknya,” kata Dian Wirengjurit.
Bagi Indonesia, risiko utama bukan terjerat konflik militer, tetapi dampak ekonominya. Lonjakan harga minyak dapat mengerek inflasi, menaikkan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya.
“Tidak ada yang bisa menghindari dampaknya, satu-satunya cara adalah mengetatkan ikat pinggang sambil berharap krisis segera reda,” ujar Dian.
Meski situasi tampak mengkhawatirkan, para pengamat meyakini dunia belum berada di ambang perang besar. Kunci utama saat ini adalah diplomasi dan tekanan internasional agar konflik Iran-Israel tidak melebar.
“Geopolitik itu bukan seperti membalikkan tangan. Perang besar butuh eskalasi masif dan aktor global. Saat ini, semua masih pada tahap pencegahan,” tutup Dina Sulaeman.
Sementara dunia menanti dengan waspada, satu hal menjadi jelas, perang besar bukan takdir, tapi pilihan. Dan dunia, tampaknya, sedang berupaya keras memilih jalan damai. (*)